Dakwah tauhid merupakan tugas mulia. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah (Muhammad): Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Aku mengajak kepada Allah (tauhid) di atas landasan bashirah/ilmu.” (QS. Yusuf: 108)
Segenap rasul pun telah menunaikan tugas agung ini dengan penuh tanggung jawab. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut itu.” (QS. An-Nahl: 36)
Ibrahim ‘alaihis salam -dengan segenap perjuangan dan pengorbanannya dalam mendakwahkan tauhid- pun pada akhirnya meraih predikat yang sangat mulia sebagai Khalil/kekasih Allah. Itu berangkat dari ketulusan beliau dalam mendakwahkan ajaran yang hanif ini kepada kaumnya. Sehingga perjalanan dakwah beliau senantiasa dijadikan sebagai teladan bagi umat-umat sesudahnya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada bagi kalian teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya. Ketika mereka berkata kepada kaumnya: Sesungguhnya Kami berlepas diri dari kalian dan dari segala sesembahan kalian selain Allah. Kami mengingkari kalian dan telah tampak jelas antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selamanya, sampai kalian beriman kepada Allah semata…” (QS. Al-Mumtahanah: 4)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melanjutkan ajaran tauhid yang diserukan oleh para pendahulunya setelah Allah turunkan wahyu kepadanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang yang berselimut. Bangkit dan berikanlah peringatan. Tuhanmu, maka agungkanlah. Pakaianmu, maka sucikanlah. Dan berhala-berhala itu, maka jauhilah.” (QS. Al-Muddatstsir: 1-5)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Allah telah mengutus beliau dengan misi memberi peringatan dari syirik dan untuk mengajak kepada tauhid.” (risalah Tsalatsat al-Ushul)
Dakwah yang mereka serukan adalah ajakan untuk menjadikan Allah -Sang Penguasa langit dan bumi- sebagai satu-satunya sesembahan, satu-satunya tempat bergantung, satu-satunya tumpuan rasa cinta, takut dan harapan. Mereka menolak segala bentuk persekutuan hak-hak Allah dengan pujaan-pujaan selain-Nya, apakah ia berwujud malaikat, nabi, matahari, bulan, bintang, batu, atau pepohonan. Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Dia, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Yang Maha Pemberi Rizki dan Pemilik Kekuatan yang maha dahsyat.
Allah ta’ala menceritakan tentang dakwah Ibrahim ‘alaihis salam kepada ayahnya (yang artinya), “Wahai ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar dan tidak melihat, bahkan tidak bisa memberikan manfaat kepadamu barang sedikit pun? Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku suatu ilmu yang belum datang kepadamu, maka ikutilah aku niscaya akan kutunjukkan kepadamu jalan yang lurus itu. Wahai ayahku, janganlah engkau memuja setan. Karena sesungguhnya setan itu durhaka kepada ar-Rahman.” (QS. Maryam: 42-44)
Sebuah dialog yang indah. Sebuah dakwah yang tumbuh dan berkembang karena perasaan kasih sayang kepada sesama. Mencintai kebaikan bagi saudaranya sebagaimana seorang mencintai kebaikan itu bagi dirinya sendiri. Oleh sebab itulah para rasul berusaha untuk mengajak sanak keluarganya untuk bersama-sama menjadi hamba Allah semata, bukan hamba selain-Nya. Inilah yang dicontohkan oleh Ibrahim ‘alaihis salam dan juga Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bahkan segenap para rasul pun memberikan keteladanan yang serupa kepada kita. Adakah seorang anak yang suka ayahnya sendiri menjadi penghuni neraka? Adakah seorang keponakan yang suka apabila pamannya sendiri menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala? Adakah seorang ayah suka apabila anak cucunya menjadi para pelestari tradisi pemujaan terhadap berhala?!
Inilah dakwah yang penuh dengan kasih sayang kepada umat manusia. Dakwah yang mengajak mereka untuk mengentaskan diri dari berlapis-lapis kegelapan menuju cahaya. Dari kegelapan dosa dan maksiat menuju cahaya ketaatan. Dari kegelapan kekafiran menuju cahaya keimanan. Dari kegelapan syirik menuju cahaya tauhid. Dari kegelapan bid’ah menuju cahaya sunnah. Inilah dakwah yang akan mempertemukan nenek moyang dan keturunan mereka di atas jembatan keimanan dan tauhid yang tertanam kuat dalam hati sanubari dan merasuk dalam sendi-sendi kehidupan.
Inilah dakwah kepada persaudaraan yang hakiki. Persaudaraan yang terjalin di atas simpul keimanan dan semakin menguat dengan ikatan-ikatan ketakwaan. Inilah dakwah kepada persatuan dan peringatan dari segala bentuk percerai-beraian. Bersatu dalam memegang teguh tali Allah, bersatu dalam naungan hizb Allah, dan bersatu dalam menghadapi musuh-musuh Allah, hizb asy-Syaitan dan menundukkan berbagai keinginan nafsu yang terlarang. Inilah dakwah tauhid. Inilah dakwah Ibrahim ‘alaihis salam kepada ayahnya, inilah dakwah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada paman dan sanak familinya, inilah dakwah Luqman -seorang ayah yang salih- kepada putranya…
Inilah dakwah yang akan menyelamatkan diri seorang dan sanak kerabatnya dari jilatan api neraka. Inilah dakwah yang mencetak generasi yang berbakti kepada ayah bunda. Inilah dakwah yang mencetak para pemuda yang tumbuh dewasa di atas ketaatan beribadah kepada Rabbnya. Inilah dakwah yang mendidik para wanita beriman yang patuh kepada perintah Allah ta’ala, agar mereka menjulurkan jilbab-jilbab mereka dan tidak bersolek sebagaimana tingkah laku wanita jahiliyah. Inilah dakwah yang akan menundukkan hati-hati manusia kepada hukum Rabb alam semesta.
Oleh sebab itu, sudah semestinya bagi setiap penuntut ilmu untuk memiliki semangat dalam menebarkan cahaya hidayah ini kepada umat manusia, terlebih lagi kepada saudara dan keluarganya. Sungguh, apabila seorang saja yang mendapatkan hidayah dari Allah dengan perantara dirinya maka itu jauh lebih berharga daripada unta-unta yang berwarna merah. Maka bagaimana lagi jika sepuluh orang, seratus orang, atau bahkan jutaan orang mendapatkan hidayah melalui tangannya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran, dan saling menasehati dalam menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang mengajak kepada Allah dan dia juga beramal salih. Dia pun berkata: Sesungguhnya aku ini termasuk orang-orang yang berserah diri/muslim.” (QS. Fushshilat: 33)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk menghidupkan kembali ajaran Islam maka dia termasuk golongan shiddiqin dan derajatnya adalah sesudah derajat kenabian.” Dengan ilmu dan amal, seorang muslim berusaha untuk memperbaiki dirinya. Dengan dakwah dan kesabaran, seorang muslim berusaha untuk memperbaiki kondisi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Allahul musta’aan.
—
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id
Dari artikel Dakwah Tauhid Kepada Keluarga — Muslim.Or.Id by null
Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Salawat dan
salam semoga tercurah kepada Rasulullah, para sahabatnya, dan segenap
pengikut setia mereka. Amma ba’du.
Dakwah tauhid merupakan tugas mulia. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah (Muhammad): Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Aku mengajak kepada Allah (tauhid) di atas landasan bashirah/ilmu.” (QS. Yusuf: 108)
Segenap rasul pun telah menunaikan tugas agung ini dengan penuh tanggung jawab. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut itu.” (QS. An-Nahl: 36)
Ibrahim ‘alaihis salam -dengan segenap perjuangan dan pengorbanannya dalam mendakwahkan tauhid- pun pada akhirnya meraih predikat yang sangat mulia sebagai Khalil/kekasih Allah. Itu berangkat dari ketulusan beliau dalam mendakwahkan ajaran yang hanif ini kepada kaumnya. Sehingga perjalanan dakwah beliau senantiasa dijadikan sebagai teladan bagi umat-umat sesudahnya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada bagi kalian teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya. Ketika mereka berkata kepada kaumnya: Sesungguhnya Kami berlepas diri dari kalian dan dari segala sesembahan kalian selain Allah. Kami mengingkari kalian dan telah tampak jelas antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selamanya, sampai kalian beriman kepada Allah semata…” (QS. Al-Mumtahanah: 4)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melanjutkan ajaran tauhid yang diserukan oleh para pendahulunya setelah Allah turunkan wahyu kepadanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang yang berselimut. Bangkit dan berikanlah peringatan. Tuhanmu, maka agungkanlah. Pakaianmu, maka sucikanlah. Dan berhala-berhala itu, maka jauhilah.” (QS. Al-Muddatstsir: 1-5)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Allah telah mengutus beliau dengan misi memberi peringatan dari syirik dan untuk mengajak kepada tauhid.” (risalah Tsalatsat al-Ushul)
Dakwah yang mereka serukan adalah ajakan untuk menjadikan Allah -Sang Penguasa langit dan bumi- sebagai satu-satunya sesembahan, satu-satunya tempat bergantung, satu-satunya tumpuan rasa cinta, takut dan harapan. Mereka menolak segala bentuk persekutuan hak-hak Allah dengan pujaan-pujaan selain-Nya, apakah ia berwujud malaikat, nabi, matahari, bulan, bintang, batu, atau pepohonan. Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Dia, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Yang Maha Pemberi Rizki dan Pemilik Kekuatan yang maha dahsyat.
Allah ta’ala menceritakan tentang dakwah Ibrahim ‘alaihis salam kepada ayahnya (yang artinya), “Wahai ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar dan tidak melihat, bahkan tidak bisa memberikan manfaat kepadamu barang sedikit pun? Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku suatu ilmu yang belum datang kepadamu, maka ikutilah aku niscaya akan kutunjukkan kepadamu jalan yang lurus itu. Wahai ayahku, janganlah engkau memuja setan. Karena sesungguhnya setan itu durhaka kepada ar-Rahman.” (QS. Maryam: 42-44)
Sebuah dialog yang indah. Sebuah dakwah yang tumbuh dan berkembang karena perasaan kasih sayang kepada sesama. Mencintai kebaikan bagi saudaranya sebagaimana seorang mencintai kebaikan itu bagi dirinya sendiri. Oleh sebab itulah para rasul berusaha untuk mengajak sanak keluarganya untuk bersama-sama menjadi hamba Allah semata, bukan hamba selain-Nya. Inilah yang dicontohkan oleh Ibrahim ‘alaihis salam dan juga Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bahkan segenap para rasul pun memberikan keteladanan yang serupa kepada kita. Adakah seorang anak yang suka ayahnya sendiri menjadi penghuni neraka? Adakah seorang keponakan yang suka apabila pamannya sendiri menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala? Adakah seorang ayah suka apabila anak cucunya menjadi para pelestari tradisi pemujaan terhadap berhala?!
Inilah dakwah yang penuh dengan kasih sayang kepada umat manusia. Dakwah yang mengajak mereka untuk mengentaskan diri dari berlapis-lapis kegelapan menuju cahaya. Dari kegelapan dosa dan maksiat menuju cahaya ketaatan. Dari kegelapan kekafiran menuju cahaya keimanan. Dari kegelapan syirik menuju cahaya tauhid. Dari kegelapan bid’ah menuju cahaya sunnah. Inilah dakwah yang akan mempertemukan nenek moyang dan keturunan mereka di atas jembatan keimanan dan tauhid yang tertanam kuat dalam hati sanubari dan merasuk dalam sendi-sendi kehidupan.
Inilah dakwah kepada persaudaraan yang hakiki. Persaudaraan yang terjalin di atas simpul keimanan dan semakin menguat dengan ikatan-ikatan ketakwaan. Inilah dakwah kepada persatuan dan peringatan dari segala bentuk percerai-beraian. Bersatu dalam memegang teguh tali Allah, bersatu dalam naungan hizb Allah, dan bersatu dalam menghadapi musuh-musuh Allah, hizb asy-Syaitan dan menundukkan berbagai keinginan nafsu yang terlarang. Inilah dakwah tauhid. Inilah dakwah Ibrahim ‘alaihis salam kepada ayahnya, inilah dakwah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada paman dan sanak familinya, inilah dakwah Luqman -seorang ayah yang salih- kepada putranya…
Inilah dakwah yang akan menyelamatkan diri seorang dan sanak kerabatnya dari jilatan api neraka. Inilah dakwah yang mencetak generasi yang berbakti kepada ayah bunda. Inilah dakwah yang mencetak para pemuda yang tumbuh dewasa di atas ketaatan beribadah kepada Rabbnya. Inilah dakwah yang mendidik para wanita beriman yang patuh kepada perintah Allah ta’ala, agar mereka menjulurkan jilbab-jilbab mereka dan tidak bersolek sebagaimana tingkah laku wanita jahiliyah. Inilah dakwah yang akan menundukkan hati-hati manusia kepada hukum Rabb alam semesta.
Oleh sebab itu, sudah semestinya bagi setiap penuntut ilmu untuk memiliki semangat dalam menebarkan cahaya hidayah ini kepada umat manusia, terlebih lagi kepada saudara dan keluarganya. Sungguh, apabila seorang saja yang mendapatkan hidayah dari Allah dengan perantara dirinya maka itu jauh lebih berharga daripada unta-unta yang berwarna merah. Maka bagaimana lagi jika sepuluh orang, seratus orang, atau bahkan jutaan orang mendapatkan hidayah melalui tangannya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran, dan saling menasehati dalam menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang mengajak kepada Allah dan dia juga beramal salih. Dia pun berkata: Sesungguhnya aku ini termasuk orang-orang yang berserah diri/muslim.” (QS. Fushshilat: 33)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk menghidupkan kembali ajaran Islam maka dia termasuk golongan shiddiqin dan derajatnya adalah sesudah derajat kenabian.” Dengan ilmu dan amal, seorang muslim berusaha untuk memperbaiki dirinya. Dengan dakwah dan kesabaran, seorang muslim berusaha untuk memperbaiki kondisi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Allahul musta’aan.
—
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id
Dakwah tauhid merupakan tugas mulia. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah (Muhammad): Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Aku mengajak kepada Allah (tauhid) di atas landasan bashirah/ilmu.” (QS. Yusuf: 108)
Segenap rasul pun telah menunaikan tugas agung ini dengan penuh tanggung jawab. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut itu.” (QS. An-Nahl: 36)
Ibrahim ‘alaihis salam -dengan segenap perjuangan dan pengorbanannya dalam mendakwahkan tauhid- pun pada akhirnya meraih predikat yang sangat mulia sebagai Khalil/kekasih Allah. Itu berangkat dari ketulusan beliau dalam mendakwahkan ajaran yang hanif ini kepada kaumnya. Sehingga perjalanan dakwah beliau senantiasa dijadikan sebagai teladan bagi umat-umat sesudahnya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada bagi kalian teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya. Ketika mereka berkata kepada kaumnya: Sesungguhnya Kami berlepas diri dari kalian dan dari segala sesembahan kalian selain Allah. Kami mengingkari kalian dan telah tampak jelas antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selamanya, sampai kalian beriman kepada Allah semata…” (QS. Al-Mumtahanah: 4)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melanjutkan ajaran tauhid yang diserukan oleh para pendahulunya setelah Allah turunkan wahyu kepadanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang yang berselimut. Bangkit dan berikanlah peringatan. Tuhanmu, maka agungkanlah. Pakaianmu, maka sucikanlah. Dan berhala-berhala itu, maka jauhilah.” (QS. Al-Muddatstsir: 1-5)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Allah telah mengutus beliau dengan misi memberi peringatan dari syirik dan untuk mengajak kepada tauhid.” (risalah Tsalatsat al-Ushul)
Dakwah yang mereka serukan adalah ajakan untuk menjadikan Allah -Sang Penguasa langit dan bumi- sebagai satu-satunya sesembahan, satu-satunya tempat bergantung, satu-satunya tumpuan rasa cinta, takut dan harapan. Mereka menolak segala bentuk persekutuan hak-hak Allah dengan pujaan-pujaan selain-Nya, apakah ia berwujud malaikat, nabi, matahari, bulan, bintang, batu, atau pepohonan. Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Dia, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Yang Maha Pemberi Rizki dan Pemilik Kekuatan yang maha dahsyat.
Allah ta’ala menceritakan tentang dakwah Ibrahim ‘alaihis salam kepada ayahnya (yang artinya), “Wahai ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar dan tidak melihat, bahkan tidak bisa memberikan manfaat kepadamu barang sedikit pun? Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku suatu ilmu yang belum datang kepadamu, maka ikutilah aku niscaya akan kutunjukkan kepadamu jalan yang lurus itu. Wahai ayahku, janganlah engkau memuja setan. Karena sesungguhnya setan itu durhaka kepada ar-Rahman.” (QS. Maryam: 42-44)
Sebuah dialog yang indah. Sebuah dakwah yang tumbuh dan berkembang karena perasaan kasih sayang kepada sesama. Mencintai kebaikan bagi saudaranya sebagaimana seorang mencintai kebaikan itu bagi dirinya sendiri. Oleh sebab itulah para rasul berusaha untuk mengajak sanak keluarganya untuk bersama-sama menjadi hamba Allah semata, bukan hamba selain-Nya. Inilah yang dicontohkan oleh Ibrahim ‘alaihis salam dan juga Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bahkan segenap para rasul pun memberikan keteladanan yang serupa kepada kita. Adakah seorang anak yang suka ayahnya sendiri menjadi penghuni neraka? Adakah seorang keponakan yang suka apabila pamannya sendiri menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala? Adakah seorang ayah suka apabila anak cucunya menjadi para pelestari tradisi pemujaan terhadap berhala?!
Inilah dakwah yang penuh dengan kasih sayang kepada umat manusia. Dakwah yang mengajak mereka untuk mengentaskan diri dari berlapis-lapis kegelapan menuju cahaya. Dari kegelapan dosa dan maksiat menuju cahaya ketaatan. Dari kegelapan kekafiran menuju cahaya keimanan. Dari kegelapan syirik menuju cahaya tauhid. Dari kegelapan bid’ah menuju cahaya sunnah. Inilah dakwah yang akan mempertemukan nenek moyang dan keturunan mereka di atas jembatan keimanan dan tauhid yang tertanam kuat dalam hati sanubari dan merasuk dalam sendi-sendi kehidupan.
Inilah dakwah kepada persaudaraan yang hakiki. Persaudaraan yang terjalin di atas simpul keimanan dan semakin menguat dengan ikatan-ikatan ketakwaan. Inilah dakwah kepada persatuan dan peringatan dari segala bentuk percerai-beraian. Bersatu dalam memegang teguh tali Allah, bersatu dalam naungan hizb Allah, dan bersatu dalam menghadapi musuh-musuh Allah, hizb asy-Syaitan dan menundukkan berbagai keinginan nafsu yang terlarang. Inilah dakwah tauhid. Inilah dakwah Ibrahim ‘alaihis salam kepada ayahnya, inilah dakwah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada paman dan sanak familinya, inilah dakwah Luqman -seorang ayah yang salih- kepada putranya…
Inilah dakwah yang akan menyelamatkan diri seorang dan sanak kerabatnya dari jilatan api neraka. Inilah dakwah yang mencetak generasi yang berbakti kepada ayah bunda. Inilah dakwah yang mencetak para pemuda yang tumbuh dewasa di atas ketaatan beribadah kepada Rabbnya. Inilah dakwah yang mendidik para wanita beriman yang patuh kepada perintah Allah ta’ala, agar mereka menjulurkan jilbab-jilbab mereka dan tidak bersolek sebagaimana tingkah laku wanita jahiliyah. Inilah dakwah yang akan menundukkan hati-hati manusia kepada hukum Rabb alam semesta.
Oleh sebab itu, sudah semestinya bagi setiap penuntut ilmu untuk memiliki semangat dalam menebarkan cahaya hidayah ini kepada umat manusia, terlebih lagi kepada saudara dan keluarganya. Sungguh, apabila seorang saja yang mendapatkan hidayah dari Allah dengan perantara dirinya maka itu jauh lebih berharga daripada unta-unta yang berwarna merah. Maka bagaimana lagi jika sepuluh orang, seratus orang, atau bahkan jutaan orang mendapatkan hidayah melalui tangannya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran, dan saling menasehati dalam menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang mengajak kepada Allah dan dia juga beramal salih. Dia pun berkata: Sesungguhnya aku ini termasuk orang-orang yang berserah diri/muslim.” (QS. Fushshilat: 33)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk menghidupkan kembali ajaran Islam maka dia termasuk golongan shiddiqin dan derajatnya adalah sesudah derajat kenabian.” Dengan ilmu dan amal, seorang muslim berusaha untuk memperbaiki dirinya. Dengan dakwah dan kesabaran, seorang muslim berusaha untuk memperbaiki kondisi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Allahul musta’aan.
—
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id
0 komentar:
Posting Komentar