Para Pendamping Nabi...

“Aku dan orang-orang yang mencintai anak yatim seperti dua jari ini di surga nanti..” begitu kata kanjeng Nabi..

Jogja, 1985
Aku ingat sosok bungkuk berambut putih itu, jalannya cepat dengan kain jarik yang membalut tubuhnya, namanya Mbah Pawiro, orang-orang di desaku memanggilnya mbah Ro untuk menyingkat namanya. Di usianya yang sudah sepuh mbah Ro tidak pernah diam, dia masih sering keliling desa, ke sawah dan bertandang ke rumah tetangga. Rumahnya di barat desa sangat sederhana, hanya bangunan bambu dengan dinding dari gedeg (bambu anyaman) di semua sisinya. Kata ibuku mbah Ro putri ini dulu waktu muda adalah ledek (penari) yang  berkeliling dari desa kedesa, sampai akhirnya menikah dengan mbah Pawiro Kakung dan tinggal di desa ini. Mereka tidak memiliki anak, dimasa tuanya mbah Ro merawat 3 orang anak kecil yang ditinggal mati ibunya.. mereka piatu, sementara ayahnya jadi duda yang tidak bekerja. Tiga anak inilah yang tiap hari dimandikan, diberi makan oleh mbah Ro.baca selengkapnya >>>

Hari menjelang magrib, Bapakku yang tugas jadi tentara di Jakarta hari ini pulang ke desa, bapak jadi orang yang dihormati di desa waktu itu, tentara yang pulang dengan seragam hijaunya, para tetangga sering menyapa jika bapak pulang... “ooo Pak Ratno sampun kundur..”
Mbak Pawiro datang kerumah sore itu, dengan badan bungkuknya dia bertemu dengan bapak di ruang tamu, aku mendengar percakapan mereka.
“duuuh Pak Ratnooo.., kulo nyuwun tulung nek wonten beras kagem putu-putu kulo, niki sek esuk dereng kelebon sekul...” mbah Pawiro nembung beras untuk tiga anak yang diasuhnya itu. Suaranya mengayun menghiba mohon belas kasihan, Bapak memberi beberapa lembar uang ribuan yang cukup untuk membeli beberapa liter beras waktu itu, Mbah Pawiro menghujani dengan ucapan terimakasih yang tercecer-cecer hingga ke jalan...
Begitulah wanita bekas ledek itu menutup hari tuanya, merawat anak-anak tanpa orang tua yang kelaparan, hingga akhir hidupnya, bahkan dia rela menjadi peminta-minta agar perut anak-anak itu tidak kelaparan dan tidur dengan perut penuh rintihan....
Mbah Pawiro meninggal hari itu.. segenap tetangga mengantar dengan hikmat hingga ke pemakaman, anak-anak tanpa ibu yang di rawatnya kini kehilangan simbah yang melindunginya.

Hari berlalu, bulan, tahun berganti...
Hari ini Mbah Pawiro kakung meninggal dunia, 7 tahun sudah sejak Mbah Pawiro putri menghadap Illahi, warga sepakat simbah kakung dimakamkan bersebelahan dengan simbah Putri. Warga yang bertugas menggali kubur mulai mencangkul tanah disamping makam itu. Satu-persatu tanah dalam ember diangkat keatas, hingga kedalaman dua meter mereka melihat sesuatu yang ajaib di depan mata mereka. Kain kafan yang membungkus jenazah Mbah Pawiro putri masih putih bersih, utuh, tidak rusak walaupun tujuh tahun sudah berlalu, walaupun terpendam di dalam tanah bersama ulat, cacing dan jutaan makhluk pengurai.. Para warga yang terkesima dengan pemandangan itu lalu merapikan sisi kain kafan yang menonjol, memberi ruang yang rapi untuk jenazah mbah Pawiro kakung yang akan dimakamkan sore nanti...
Cerita itu menjadi bahan pembicaraan turun temurun di desaku, hingga ibuku bercerita kepadaku sambil kami ngobrol di meja makan minggu lalu..
Soto ayam buatan ibuku teteeep paling enak sedunia! Aku selalu nambah porsinya... ssrrruuppp!
----------------------------------------------------

Giwangan Jogja, 1979
Anak-anak laki-laki para penghuni panti asuhan itu berkumpul sambil makan seadanya. Nasi dengan tempe dan sayur lodeh sudah menjadi makanan istimewa untuk mereka. Panti Asuhan Putra Islam itu didirikan oleh eyang Suryowinoto, bukan orang kaya namun beliau yang perduli dengan anak-anak yatim yang terlantar dan tidak ada yang merawatnya. Eyang Suryo inilah yang mengumpulkan anak-anak itu dirumahnya, memberi mereka makan dan merawat mereka hingga tidak terlantar dijalanan..
Sehabis sholat Isya, anak-anak panti itu berkumpul di ruang tamu, mereka menghadap Eyang Suryo yang baru selesai mengaji.
“ada apa le, kenapa kalian tidak belajar atau mengaji..?” tanya Eyang
“nyuwun ngapunten Eyang, beras yang kita miliki sudah habis.. yang tadi kita makan adalah beras terakhir, besok pagi belum ada beras untuk sarapan Eyang” salah seorang dari mereka menjelaskan.
Eyang Suryo tersenyum, sambil berdiri beliau berkata..
“Wiss, tenangno atimu.. Gusti Allah nanti yang akan mencukupi, berdoalah.. beliau tidak pernah tidur..” jelas Eyang Suryo sambil berjalan ke arah kamar mandi.
Anak-anak panti itu hanya manggut-manggut..
Baru beberapa menit setelah Eyang Suryo masuk ke kamar mandi, pintu depan tiba-tiba diketuk seseorang, mereka beranjak membukakan pintu.. seorang lelaki dengan beras sekarung sudah berdiri di depan pintu.
“Assalamualaikum nak, saya mau mengantarkan beras untuk panti ini, semoga bermanfaat..”
Seketika mata anak-anak yang tadinya kuyu itu berbinar-binar seperti melihat hujan emas di depan mereka, satu dua anak berlari ke arah kamar mandi sambil berteriak-teriak...
“Eyaaaang... eyaaaang.... Gusti Allah mengirimkan berassss untuk kita!! “
“Eyang... Eyaaaaang... kita bisa sarapan nasi besok pagi!!”
...............
Eyang Suryo yang mengajari Allah selalu mencukupi
Kisah sederhana yang menggetarkan itu aku dengar dari Mas Tono dua bulan lalu, dia cucu Eyang Suryo yang mengelola salah satu cabang panti itu sekarang di Jogjakarta..
------------------------------------

Bantul, 2002..
Bayi itu tergeletak di depan rumah, di dalam kardus yang terbuka. Ibunya tidak menginginkannya, anak ini harus dibuang, siapapun yang menemukan biar merawatnya.. jika bernasib malang, mungkin saja jadi santapan binatang.. selesai semua urusan..
Mbah Nur memungut bayi itu, membawanya ke dalam rumah, membersihkannya, memberinya susu seperti anaknya sendiri. Kasih sayang seorang simbah yang dulu pernah menjadi ibu muda kembali dinikmatinya.
Dalam kondisi keuangan yang terbatas, mbah Nur mendatangi warung berhutang untuk susu bayi itu, sekali waktu bertemu dengan ibu-ibu, mbah Nur mengajak mereka semua..
“Ayo to, berjuang ngurusi bayi-bayi ini... aku diewangi, dibantu, ini anak-anak tidak berdosa yang butuh kasih sayang dan bimbingan..”
Dari mulut ke mulut berita itu menyebar, ibu-ibu yang ada di kampung itu ikut tergerak hatinya. Bayi-bayi tanpa orang tua terus berdatangan, dititipkan oleh mereka yang tidak menginginkan kehadirannya. Mbah Nur harus mendapat tantangan dari anaknya sendiri yang tidak setuju rumahnya jadi seperti penitipan bayi.
Dengan dana seadanya akhirnya mereka mengontrak sebuah rumah sederhana, tempat bayi-bayi itu sekarang berada. Mbah Nur meninggal setahun sebelum gempa, seorang wanita tua yang mewariskan semangat kepada ibu-ibu di desanya agar tetap bermanfaat hingga akhir hayat...
“kami ingin melanjutkan keinginan Mbah Nur mas, jadi walaupun gaji sedikit hanya untuk beli beras, tapi saya senang disini mengurus bayi-bayi ini.. “ kata Mbak Asih sore itu.
Tempat ini memang tidak layak disebut panti asuhan, sebuah rumah berpagar kayu disamping jalan Ringroad selatan yang dilewati bus-bus dan truk yang melaju, menderu menyemburkan debu-debu!
Menanti Orang tua yang tak kunjung datang...

Wajah anak-anak itu menyembul dari pagar kayu... mata mereka berkilau setiap ada orang yang datang, berharap itu orang tuanya yang mengajaknya pulang..
Pulang ke rumah dengan kasur empuk, selimut dan belaian kasih sayang... walaupun senyum mereka akan kembali pudar, seiring para tamu yang pulang menjelang hari rembang petang...

Aku selalu rindu melihat langit Jogja berwarna jingga menemani matahari pulang. Romantisme abadi yang membuat siapapun kangen untuk kembali datang..
--------------------------------------

Jogja, Oktober 2011
Ustadz Arif Hartanto menghela nafas panjang ketika aku bertanya bagaimana susahnya mengurus sebuah Panti Asuhan. Teh hangat yang dihidangkan di meja sudah kuteguk sekali, rasanya kental dan manis sekali..
“Kalo Kanjeng Nabi ngendiko, Aku dan orang-orang yang mencintai anak-anak yatim seperti dua jari ini di surga... Iuar biasa itu mas, VVIP posisi itu.. sudah di surga, di samping Kanjeng Nabi lagi, walaupun harus saya akui, perjuangannya juga VVIP mas...” kata Ustadz Arif sambil tersenyum.
Pandangannya menerawang keluar sambil membuka memori yang pernah dialami.

“Saat itu 6 orang anak kami harus masuk ke SMK, dan mereka Alhamdulillah diterima di sebuah SMK Favorit di Jogja, per orang harus membayar biaya 11 juta, jadi kami harus menyiapkan dana 66 juta. Mereka sudah berkumpul dengan wajah tertunduk, karena kami memang tidak punya uang sebanyak itu..”
“saat itu saya sampaikan kepada mereka, Wisss caah.. besok bapak akan ke sekolah kalian, bapak tidak bawa uang, tidak bawa apa-apa, bapak hanya bawa doa... kalian bantu bapak berdoa agar semua dimudahkan, kekuatan doa itu melebihi segala-galanya..”

Aku menunggu cerita Ustadz Arif menuju puncaknya, sekali lagi kusruput teh manis itu.

“Ya Sudah mas, paginya saya berangkat.. niat Bismillah, ketemu dengan kepala sekolah langsung saya menjelaskan kondisi kami semuanya. Dan kalo Allah sudah memudahkan, membalikkan dan melunakkan hati itu sangaaaat mudah sekali. Uang gedung 15 juta tiba-tiba dicoret, uang sumbangan ini itu tiba-tiba dicoret, akhirnya dari 66 juta kami hanya diminta membayar 17 juta.. itupun boleh dicicil  sampai kami memiliki dana... Saya pulang ke rumah, saya tunjukkan ke mereka bahwa Allah bisa memudahkan semuanya.. Alhamdulillah saat ini mereka sudah sekolah semua..”

Aku takjub mendengarnya..

Seorang anak dengan baju sekolah, badan berkeringat tiba-tiba masuk ruangan... mengucapkan salam lalu mencium tangan Ustadz Arif.
“Maaf pak, saya pulang terlambat.. tadi ada tugas tambahan di sekolah” katanya
“Ya sudah sana istirahat, kalau sudah teman-temanmu semua diajak nyiram tanaman yaa..”
“Matur suwun pak... Assalamualaikum”
Panti Asuhan itu ada di pinggir sawah, menghadap ke barat, ketika matahari sore memancarkan sinar berkilat seolah menyinari dan memberi arti, dari tempat inilah akan lahir manusia-manusia berbudi pekerti tinggi pelanjut jejak langkah para Nabi...

Ustadz Arif Hartanto, Muda bersahaja..

---------------------------------------

Jogja, 2006... Panti Asuhan Qoirunnissa
“saya Saptuari bu, saya kesini ingin menyampaikan sesuatu...” Suaraku tersedak
Bu Titik pengelola panti itu terkejut dengan perubahan ekspresiku.
“pripun mas, apa yang bisa kami bantu..?”
“Maaf bu, saya jadi nangis gini... saya dulu pernah tidak sengaja berhutang kepada kawan saya, saya menjualkan kaos-kaos  yang dijual kawan saya itu. Saya jual di kampus, saya  titipkan di toko-toko souvenir, sampai akhirnya kawan saya tiba-tiba meninggal dunia bu, sementara banyak dagangan kawan saya itu yang belum laku dan masih saya bawa. Sekarang semua dagangan itu saya tebus semua, senilai 1,5 juta. Saya niatkan untuk diberikan ke Panti asuhan ini saja bu, mohon doanya dari adik-adik semua semuanya untuk kawan saya itu...”
Bu Titik tiba-tiba ikut menangis... wanita berwajah  teduh itu menghapus airmata dengan kedua tangannya.
“Subhanallah masss... matur suwuun, kami akan doakan seusai sholat Magrib berjamaah nanti. Ketika orang melupakan hutang kepada orang mati, mas Saptu justru ingin melunasinya dengan doa... kami pasti turut mendoakan.. semoga beliau tenang disisiNya...”

Pohon-pohon hijau yang ada di halaman panti itu mengirimkan angin semilir ke ruang tamu, menjadi saksi aku dan bu Titik menangis bersama lima tahun lalu...

Alhamdulillah, setiap Ramadhan aku rutin mengajak karyawanku buka puasa ke Panti Asuhan yang dikelola Bu Titik di jalan Wonosari itu, agar mereka juga belajar dan memahami arti berbagi yang bisa menembus hati nurani...
Dua bulan lalu juga aku ditunjukkan sebuah benang merah, ketika #SedekahRombongan mulai aku gerakkan mengunjungi Panti-panti di sekitar Jogja, setelah sekian lama aku baru mengetahuinya... Ustadz Arif Hartanto adalah Putra tertua Bu Titik, mereka adalah Cucu dan Anak Mantu dari Eyang Suryowinoto... Lelaki tua yang 32 tahun lalu pernah menjanjikan pada anak-anak panti, bahwa Gusti Allah akan mengirimkan beras untuk sarapan mereka esok hari...

Bu Titik waktu acara buka Puasa 2007
-----------------------------------------

Jalan Imogiri Bantul...
Menuju panti asuhan itu butuh ketajaman mata, plang Panti Asuhan Amanah terlalu kecil dipasang disebrang jalan, sehingga aku kebablasan, mobil kumundurkan masuk jalan desa ke kanan, menyusuri tengah desa, pinggir sawah luruuuss hingga aku menemukan bangunan seperti sekolah.
“dulu ini memang sekolah mas, namun tidak terpakai karena kekurangan murid, akhirnya saya dan beberapa warga menjadikannya sebagai Panti Asuhan. Kami hanya modal nekat mas, niat kami mengumpulkan anak-anak yatim, piatu, duafa agar mereka tetap bisa sekolah, belajar disini.. sebagian ada yang korban gempa, sekarang total ada 120 anak mas, yang tinggal disini 30an anak. Selebihnya mereka pulang, orang tua mereka para petani, atau buruh tani miskin yang tinggal disekitar sini.. Alhamdulillah Allah selalu memudahkan..” Pak Kirno pimpinan panti itu mulai bercerita.
Di luar sana ada sekelompok anak-anak putri yang sedang belajar bahasa Inggris di pendopo bambu itu, ternyata ada Mahasiswa relawan yang mengajar disana..

“lalu, saat ini Panti ini butuh apa pak?” tanyaku..
Pak Kirno terdiam, tubuhnya tetap bersandar di kursi tua itu nyaris tanpa ekspresi..
Lalu wajahnya menengok ke arahku..
“waduh mas, kami ini sudah dibantu saja sudah terimakasiiiiiiih sekali, rasanya tidak pantas kami menyebut semua permintaan kami, apapun kami terima mas, apapun bermanfaat untuk anak-anak kami... kami pun memulai ini semua tanpa apa-apa, Gusti Allah yang mencukupkan...” lanjut Pak Kirno.

Tiba-tiba belasan anak panti putri masuk keruangan, mereka mengucapkan salam berbarengan, mungkin mereka baru datang dari rumah-rumah sekitar. Satu persatu mereka mencium tanganku dan tangan pak Kirno, lalu pamit bergabung dengan kawan-kawannya di Pendopo...

“Ini pak, Alhamdulillah ada titipan dari kawan-kawan #SedekahRombongan 4 juta, semoga bermanfaat untuk adik-adik disini..” kataku menyampaikan
Pak Kirno tidak langsung menerima amplop itu, dia mengusap kedua tangannya ke wajah, ucapan Alhamdulillah tiba-tiba beruntun meluncur dari mulutnya, disusul dengan airmata yang menetes dari wajahnya. Aku terbawa suasana.... Amplop berisi uang itu aku letakkan di meja, dan aku harus membersihkan kacamataku yang tiba-tiba berembun dan mengandung air entah dari mana...
“matur suwuuuuun masss.... matur suwuuuun...” ucap Pak Kirno sambil menjabat tanganku erat.

Kami berjalan keluar...
Pak Kirno menunjukkan sebuah gambar masjid, sketsa kasar dari tangannya yang ditempel di pintu ruangan itu.
“kami ingin memiliki masjid di Panti ini mas, saya menggambarnya saja, saya tidak tau kapan akan bisa membangunnya, gambar ini lalu saya pasang di pintu ini. Seminggu kemudian ada seorang donatur datang, dia melihat gambar masjid ini dan bertanya mana masjidnya? Saya jawab nanti akan dibangunkan oleh Allah. Donatur itu lalu minta ijin dia membiayai pembangunan masjid di panti ini sampai selesai..”

Pak Kirno menunjuk ke barat, kearah sebuah bangunan yang masih dikepung bambu-bambu penyangga, sebuah masjid mulai di bangun di sisi barat bekas sekolah itu, hanya seminggu sejak coretan itu ditempelnya, dan Gusti Allah langsung mengabulkannya...

Aku pamit pulang, hari sudah beranjak sore.. rimbun padi di hamparan sawah yang kulewati seolah kembali menjadi saksi, bahwa Gusti Allah hadir di setiap penjuru bumi...

Pak Kirno dari dusun di pelosok Bantul

------------------------------------------
Sudah hampir jam 3 pagi... imajinasiku melayang tinggi... tembussss ke langit puuaaling tinggi....
............
“hoooo!!....tempat itu indah sekali, sangaaat indah sekali... aku coba mendekatinya, suasananya tenaaang, damai, apakah ini surga?? Gak ada tempat seindah ini di dunia... Subhanallah!
Ada sekumpulkan manusia disana, mereka berjalan bersama-sama dengan wajah ceria.. mereka menuju ke arahku... siapakah manusia dengan wajah bercahaya itu? oooohh Apakah itu Kanjeng Nabi?? Wajahnya teduuuuh sekali, bersih bercahaya namun tidak menyilaukan mata...

Eh, Masya Allah... aku mengenali wajah-wajah disampingnya, itu Mbah Pawiro, badannya tidak bungkuk lagi! Lho.. Ada Bu Titik dan Ustadz Arif.. dan itu Pasti Eyang Suryo, dan Itu pasti Mbah Nur! Subhanallah, Pak Kirno melambaikan tangan kepadaku... !!
Apakah benar mereka sekarang telah mendampingi Kanjeng Nabi di Surga! Kanjeng Nabi hari ini menepati janjinya...

Mereka semua berdiri di depanku, ada batas seperti kaca yang ada didepanku memisahkan aku dan mereka... Ya Allah ya Rabbi... senyum mereka ceraaaah sekali!

Aku gemetar, suaraku tidak bisa keluar... aku ingin memohon ijin kepada Manusia Bercahaya itu, apakah aku boleh bergabung bersama mereka... kupaksa suaraku tetap tidak keluarrrr.. aku sudah gemetar ketakutan untuk berkata-kata...

aku tidak sanggup lagi untuk bertanya, pasraaaaah saja... 
aku takut jika Manusia Bercahaya itu menjawab pertanyaanku cukup dengan satu gelengan kepala, dan bayangan hitam lalu melemparkan tubuhku ke dalam api yang menyala-nyala jauuuuuuuuuh di belakang sana...”

Subuh menjelang, kututup imajinasiku dengan menangis sejadi-jadinya...!!

diambil dari www.saptuari.com

0 komentar:

Posting Komentar

 
Home | Gallery | Tutorials | Freebies | About Us | Contact Us

Copyright © 2009 PRASASTI |Designed by Templatemo |Converted to blogger by BloggerThemes.Net